KISAH INSPIRATIF – Cukup banyak pondok pesantren berkembang di Magelang, Jawa Tengah. Salah satunya yang termasyhur adalah Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo.
Pendirinya merupakan seorang ulama karismatik, KH Chudlori.
Sosok Kiai Haji (KH) Chudlori dikenang sebagai ulama yang alim, rendah hati, dan mengayomi masyarakat. Dalam menyebarkan ajaran Islam, alumnus Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur itu, selalu mengutamakan pendekatan rahmatan lil ‘alamin.
Mubaligh yang wafat pada 1977 itu juga dikenal gemar mengamalkan latihan-latihan rohani atau riyadhah.
Berikut kisah fenomenal KH Chudlori Tegalrejo;
Di masa lampau, Tegalrejo Magelang adalah sebuah desa yang dihuni oleh dua kelompok masyarakat yang berbeda karakter.
Masyarakat kalangan santri dengan ciri ketaatan ibadah berada di Blok Lor. Sedangkan kalangan masyarakat abangan yang abai dengan urusan agama di Blok Kidul.
Abangan di sana dikenal sangat menyukai seni tradisional seperti Jathilan, Tayub dan sebagainya.
Suatu ketika, karena alokasi dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDes) tidak memungkinkan untuk memenuhi seluruh pembangunan dan keinginan masyarakat Desa Tegalrejo
Akhirnya, Kepala Desa Tegalrejo mengumpulkan warganya di Pendopo Balai Desa untuk mengadakan rapat atau yang saat ini di sebut musyawarah rencana pembangunan desa (Musrenbangdes).
Dalam rapat tersebut, kepala desa langsung menyampaikan tujuan pertemuan itu.
“Bapak-bapak sekalian yang saya hormati. Saat ini, kita mendapatkan dana bantuan pembangunan dari pemerintah pusat. Akan tetapi, dana tersebut tidak memungkinkan untuk mengcover seluruh kebutuhan pembangunan yang ada. Oleh karena itu, saya berharap bapak-bapak menyampaikan dan menyepakati pembangunan mana yang harus didahulukan dan diprioritaskan,” kata Pak Kades.
Kemudian, seseorang yang duduk agak di tengah mengangkat tangannya. Setelah moderator mempersilahkan, ia berdiri dan berkata.
“Begini Pak Kades. Kampung kita sedang berencana membangun masjid. Pembangunan masjid ini tentunya membutuhkan dana yang cukup besar. Karena itu saya usul, dana tersebut dialokasikan saja untuk pembangunan masjid. Usulan lain yang belum terakomodasi, kita anggarkan tahun mendatang,” pintanya.
Belum sampai pengusul pertama duduk kembali, seorang peserta rapat yang duduk di pojok belakang berdiri dan mengajukan pendapatnya.
“Pak Kades, kami pecinta kabudhayan tradisional berupaya melestarikan kabudhayan kita yang adiluhung. Untuk itu, kami membutuhkan dukungan dan bantuan dana dari pemerintah desa untuk pembelian alat gamelan,” ucapnya.
Setelah beberapa saat, usulan mengerucut pada kedua usulan tersebut.
“Hadirin yang saya hormati, terima kasih atas masukan yang telah disampaikan. Namun demikian, saya minta maaf, mengingat anggaran yang ada tidak mungkin keduanya direalisasikan sekaligus dalam anggaran tahun ini. Salah satunya harus dipending untuk anggaran tahun mendatang,” terang Pak Kades.
Akhirnya, terjadilah perdebatan yang alot dan panjang antara kedua belah pihak. Kesepakatan tidak bisa dicapai. Rapat pun menjadi buntu. Melihat ketegangan yang mulai memuncak Pak Kades menjadi khawatir. Ia pun segera menengahi.
“Bapak-bapak sekalian, kalau memang tidak ada kata sepakat, bagaimana kalau kita meminta pendapat bapak Kyai Chudlori saja?” ujar Pak Kades.
Kalau nama Kyai Chudlori sudah disebut, tidak seorangpun bisa menolak. Semuanya setuju, terutama orang-orang Blok Lor.
Kemudian Pak Kades bersama beberapa tokoh masyarakat dari kedua blok, sowan kepada KH Chudlori. Setelah menjelaskan duduk persoalannya, kemudian Pak Kades meminta pendapat KH Chudlori. “Bagaimana menurut pendapat panjenengan, Kyai?,” tuturnya.
KH Chudlori tidak langsung menjawab. Beliau mempersilahkan para tetamu untuk menikmati hidangan yang tersedia, baru kemudian berkata dengan singkat.
“Pak Kades dan bapak-bapak semua, menurut saya untuk anggaran tahun ini, dana tersebut dibelikan saja gamelan sebagaimana usulan sedulur-sedulur Blok Kidul,” kata Kyai Chudlori.
Sebagaimana kesepakatan sebelumnya, meski ada sebagian yang kecewa, namun tidak ada yang berani menolak pendapat Kyai Chudlori.
Semua pulang dengan membawa perasaannya masing-masing. Orang-orang Blok Kidul tentu sumringah karena mendapat dukungan yang tidak terduga sama sekali. Namun sebaliknya, orang-orang Blok Lor memendam kecewa dan masyghul lantaran Kyainya justru mendukung orang-orang abangan itu.
Demi menghindari prasangka atau su’udzon yang berlarut-larut pada Kyainya, panitia pembangunan masjid dan beberapa warga memutuskan untuk sowan kembali kepada Kyai Chudlori.
Melihat kedatangan mereka, Kyai Chudlori tersenyum. “Aku sudah tahu maksud kedatangan kalian. Kalian mempertanyakan keputusanku tempo hari kan?,” sergah kyai Chudlori.
“Berapa tahun rencana pembangunan masjidmu itu selesai?,” tanya kyai Chudlori.
Mendengar pertanyaan kyai Chudlori, ketua panitia menjawab, “Anu, sekitar empat tahun insya Allah selesai Kyai,” imbuhnya.
“Saya kok yakin tidak selama itu. Dalam jangka waktu kurang lebih satu tahun, insya Allah masjid sudah selesai,” kata Kyai Chudlori dengan penuh keyakinan.
Gembira bercampur tanya berjejalan di hati mereka. Seseorang dari mereka kemudian memberanikan diri bertanya, “Bagaimana caranya, Kyai?”
“Tidak perlu saya jelaskan sekarang. Pada saatnya nanti, kalian akan tahu,” kata Kyai Chudlori penuh teka-teki.
Setelah merasa cukup, rombongan itu pamit undur diri. Meski tersimpan tanda tanya di hati, mereka tidak lagi diliputi kecewa dan praduga. Mereka yakin kebijaksanaan kyainya.
Hari, pekan, dan bulan pun berganti. Gamelan yang direncanakan pun sudah terbeli. Sayup-sayup alunan bunyi gamelan mengiringi tari Jathilan pun sering terdengar sejak saat itu. Sementara, pembangunan masjid belum berjalan sesuai dengan yang direncanakan.
Sampai pada suatu malam, KH Chudlori mengundang seluruh warga di rumahnya, baik orang-orang blok Lor maupun blok Kidul. Atas nama panitia, KH Chudlori menyampaikan maksud pertemuan itu.
“Bapak-bapak semua, kebutuhan masjid sebagai tempat ibadah sangat penting dan tidak bisa ditunda. Oleh karena itu, saya mewakili panitia mengajak panjenengan sedoyo memikirkan ini,” kata Kyai Chudlori.
Suasana pun menjadi hening untuk beberapa saat sampai seorang tokoh dari Blok Kidul berdiri dan berkata. “Kyai, saya dan seluruh warga Blok Kidul siap mendukung keinginan sae ini,” ucapnya penuh semangat.
“Bukan begitu sedulur-sedulur!,” tanyanya pada warga Blok Kidul. “Betul, ki. Kita mendukung sepenuhnya,” sahut salah seorang dari mereka.
Setelah malam itu, seluruh warga Blok Lor maupun Kidul bersatu mewujudkan rencana besar itu. Benarlah apa yang dikatakan KH Chudlori tempo hari. Masjid itu pun telah berdiri sempurna dalam waktu tidak lebih dari setahun.
Tak hanya itu, orang-orang Blok Kidul pun akhirnya banyak yang mendatangi masjid untuk sholat lima waktu. Mereka malu pada diri sendiri. Bagaimana mungkin masjid yang mereka bangun dengan harta dan tangan mereka sendiri dibiarkan kosong.
Diketahui, KH Chudlori merupakan putra pasangan Muhammad Ikhsan, yang bekerja sebagai penghulu masjid, dan Mujirah.
Anak kedua dari 10 bersaudara itu lahir sebelum Indonesia merdeka. Hingga kini, tanggal kelahirannya tidak diketahui secara pasti.
KH Chudlori kecil menempuh pendidikan dasar di sebuah sekolah pribumi berbahasa Belanda atau Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Setelah itu, ia menjadi seorang santri kelana. Rihlah keilmuan dilakukannya dari satu pesantren ke pesantren lainnya di Tanah Jawa. Minatnya memang besar dalam mempelajari ilmu-ilmu agama Islam.
Pada 1923, KH Chudlori menjadi santri di Pondok Pesantren Payaman, yang dipimpin KH Siroj. Ia menghabiskan banyak waktu dengan belajar dan mengaji. Setelah dua tahun menimba ilmu di sana, dirinya pun melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Kuripan yang diasuh KH Abdan.
Tak berhenti di situ, beberapa tahun kemudian ia pindah ke pesantren yang diasuh Kiai Rahmat di Gragab hingga tahun 1928. Setelah itu, barulah ia nyantri di Tebuireng yang didirikan sang perintis Nahdlatul Ulama (NU), yakni Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.
Saat di Pesantren Tebuireng, KH Chudlori termasuk kalangan santri yang cerdas dan rajin. Di luar pengajian rutin, ia selalu menyempatkan diri untuk mengasah kemampuan dalam membaca dan mendalami berbagai kitab klasik. (red)
-Dinukil dari berbagai sumber