Penentuan Awal Syawal, Jangan Diseret Keranah Politik

Waktu Membaca:2 Menit, 33 Detik

INSPIRASI – Hampir setiap tahun saat penentuan awal Ramadhan dan Syawal, kerap terjadi perdebatan di Indonesia.

Umumnya, perdebatan tersebut menyeret dua organisasi besar Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Karenanya, Gus Baha mendorong perdebatan terkait awal Syawal dilakukan berdasarkan ilmu falak, bukan diseret ke ranah politik.

Hal ini disampaikan pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA, KH Ahmad Bahaudin Nursalim atau Gus Baha, saat menjelaskan tafsir surat Yasin ayat 37-38 seperti dikutip dari akun youtube Santri Gayeng, Jumat (21/4/2023).

“Kita sering debat, tapi tidak mau menekuni ilmu tersebut. Misalnya perdebatan NU dan Muhammadiyah yang meributkan hal awal bulan Syawal. Lalu muncul anggapan negara bela NU atau ikut Muhammadiyah. Ilmunya tidak mau, tapi saling melempar tuduhan,” kata Gus Baha.

Menurutnya, perdebatan itu terjadi karena orang yang berdebat tidak paham ilmu astronomi atau ilmu falak.

Sebuah ilmu yang mempelajari benda langit dan fenomena alam yang terjadi di luar bumi. Dengan ilmu ini bisa menghitung dan mengetahui awal bulan.

Akhirnya, lanjut Gus Baha, perdebatan semakin tak terarah dan liar ketika disertai muatan politik dan dipublikasikan di media sosial.

Perdebatan tanpa ilmu yang dibumbui dengan motif ego kelompok serta politik membuat semuanya kacau, lantaran saling ejek dan merendahkan.

“Sebetulnya penentuan awal Syawal itu mudah, kalau kamu ingin tahu jawabannya maka belajar ilmu falak, selesai. Kalau otaknya cukup maka silakan belajar falak, tidak usah ikut nimbrung berbicara, karena itu ilmu obyektif. Ilmu astronomi itu kan obyektif, kok dianalisis secara politik,” jelas Gus Baha.

Baca Juga   Kemendag Bongkar Pabrik Oli Palsu Miliaran Rupiah di Tangerang

Ulama asal Rembang ini mengungkapkan, ada tiga alasan mengapa orang lebih suka debat mengenai awal Ramadhan dan Syawal dibandingkan belajar ilmu falak agar perdebatannya terjadi obyektif.

“Alasan pertama karena bodoh, kedua karena sombong, dan ketiga karena kurang pekerjaan. Bukan bidangnya, tapi banyak bicara. Yang paling sering terjadi di masyarakat adalah yang ketiga,” bebernya.

“Karena perdebatan tanpa ilmu, sampai muncul istilah, kalau rukyat itu NU dan kalau hisab itu Muhammadiyah. Padahal tokoh NU banyak juga menggunakan hisab,” sambungnya.

Secara ilmu, jelas Gus Baha, ketika Allah membuat hukum, maka yang detail diketahui oleh orang khusus, tetapi ada ilmu yang orang awam pasti tahu.

Awam dalam bidang itu maksudnya, seperti ahli tarekat, tapi tidak tahu falak, yang ahli falak tidak tahu tarekat. Karena manusia memang tidak pernah sempurna.

Allah suka buat tebak-tebakan, jadi bulan itu tersembunyi 2 hari. Karena tempat singgah bulan (manzilatul qomar) hanya 28 hari.

Jika ijtima’ terjadi usai 28 hari maka satu bulan hanya 29 hari, besoknya sudah masuk tanggal 1 di bulan berikutnya. Jika menunggu 29, maka istikmal sampai 30 hari, lalu habis dan ganti bulan.

Berarti tiap bulan ada misteri 2 hari. Bisa saja tanggal 29 itu terakhir ijtima’ lalu nanti selesai.

Atau ijtima’-nya nanti sampai 30. Itu menurut pandangan ahli ilmu, kata Gus Baha.

Baca Juga   18 Balita di Cikupa Tangerang Terdeteksi Butuh Penanganan Atasi Gizi Buruk

“Tidak benar anggapan kalau ada pemilihan (penetapan bulan) NU pakai rukyat, Muhammadiyah pakai hisab. Karena ini adalah ilmu, siapapun mengkaji itu. Saya punya banyak buku falak, sebagian dikarang oleh orang Muhammadiyah. Lah yang buat kalender itu siapa? Sebagian besar itu orang NU seperti Mbah Turaichan. Beliau orang NU. Pakar hisab dari Muhammadiyah juga banyak ikut,” tukasnya. (dbs/red) http://katanya.co.id