Opini by : Teguh Maulana (Sekjend DPC GMNI Kabupaten Tangerang)
Tanpamu kita sadari di bumi Indonesia kini telah muncul lapisan manusia-manusia baru, pemuda-pemudi baru, terkhusus intelektual dengan jiwa, karakter serta pribadi baru yang lahir pada era reformasi. Ya, elemen yang bertransformasi.
Siapakah manusia-manusia baru tersebut ?Mereka yang diberikan keilmuan oleh filantropi pendidikan secara berjenjang, mereka yang dididik dengan idealisme di era skeptisme, disuguhkan berbagai harapan tentang kejayaan Indonesia Emas di masa depan. Mereka yang menyebut dirinya sendiri aktivis (saya memilih menyebutnya aktivis kontemporer), mereka adalah generasi yang dibius oleh semangat progresif-revolusioner ala Soekarno, atau ala tokoh 98.
Tetapi terutama generasi inilah pula yang mengalami kehancuran cita-cita itu semuanya, demoralisasi dalam segala bidang yang selalu terbayang tapi asal perut kenyang. Entitas terbesarnya, mereka adalah Mahasiswa dan segenap kaum gerakan.
Apabila merujuk pada sejarah panjang Mahasiswa, kondisi terkini mungkin layak kitaebut sebagai kemerosotan moralitas gerakan. Banyak Mahasiswa yang tergabung dalam berbagai organisasi, baik yang bersifat intra maupun ekstra yang telah memiliki eksistensi turunan sehingga tersematkan sebagai aktivis secara kultural.
Dari sejarah panjang itu pula yang menjadikan Mahasiswa kerap disebut sebagai kaum intelektual atau cendekiawan. Pemikiran-pemikiran yang timbul dinilai sangat liar, mendalam dan kritis.
Dalam buku Soe Hok Gie Zaman Peralihan, ia bermimpi tentang kejayaan Mahasiswa akan semakin berkembang dari setiap periodenya. Dahulu, Mahasiswa menjadi pengawal kinerja dan pengamat taktik kotor para cukong, pengemban cita kebenaran dan keadilan.
Keadaan zaman saat ini berubah sedemikian rupa, Mahasiswa lebih tenang dengan kebebasan mimbar dalam organisasi menjadi hal yang sangat nyaman dinikmati. Maka langkah yang tepat adalah pembangunan intelektualitas yang diperlukan lebih dari sekedar teori. Bukan masanya lagi dimana kaum teknokrat semakin merebah dan beranak pinak. Idealisme Vs Pragmatisme.
Idealisme dan pragmatisme dalam sudut pandang filsafat dan gerakan Mahasiswa secara harfiah memiliki pengertian yang berbeda. Singkatnya, idealisme menurut Plato berarti bahwa pengetahuan dan kebenaran tertinggi adalah ide atau akal pemikiran manusia. Demikian dijelaskan dalam buku “Jejak Langkah Pemikiran Plato” karya David Melling.
Sementara itu, dalam buku “Menelusuri Pragmatisme” istilah Pragmatisme diambil oleh Charles Sanders Peirce dari Filsafat Kant. Dalam Filsafat Kant terdapat dua kata yang intelegensia harus memiliki kemampuan berpikir yang baik dan mampu menciptakan suatu terobosan baru, hal itu memang menjadi tugas utamanya.
Sedangkan untuk menjalankan fungsi sosialnya dengan baik, maka seorang Mahasiswa sebagai intelektual wajib memiliki kepekaan, kepedulian, dan keberpihakan sosial kepada mereka yang tertindas oleh kekuasaan negara.
Menempatkan objektifitas dan nurani di atas kebutuhan eksistensi. Jika dahulu Mahasiswa menjadi pengawal kinerja dan pengamat taktik kotor para cukong, saat ini malah banyak dari golongan kita yang terlibat di dalamnya.
Apakah revolusi setelah reformasi se-bercanda itu? Sikap idealis yang dipertahankan Gie membuatnya berseberangan dan kemudian dikucilkan okeh teman-temannya. Tetapi hal tersebut bukanlah persoalan yang berarti untuknya. Baginya, ketika kita mempertahankan kebenaran, artinya kita telah siap kesepian.
Idealis sejati hanya berkata, berbuat, dan bertindak atas nama kebenaran. Faktor lain yang mendukung keterbelakangan moralitas Mahasiswa dan kaum gerakan saat ini adalah kebanyakan intelektual yang memiliki irisan dengan para Mahasiswa aktif (hubungan klasik senior dengan junior) mayoritas menjadi teknokrat alias skrup-skrup dalam roda pemerintahan, kaum intelektual pada gilirannya dipergunakan oleh pemerintah untuk membela beleidnya atau solidarity maker suatu gerakan yang dimotori oleh irisannya tersebut.
Dengan bekal idealisme tanggung, irisannya pun sering tidak mampu menjunjung azas atau nilai luhur perjuangan yang seharusnya melekat pada organisasi gerakan atau diri seorang Mahasiswa.
Bukan hanya sekadar ungkapan bahwa seorang Datuk Tan Malaka mewariskan api perjuangan dalam kalimat “idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki Pemuda”, begitu visioner apabila kita selaraskan dengan kondisi bangsa saat ini.
Mahasiswa yang seharusnya mempertahankan idealisme dan nilai gerakannya itu malah menggadaikannya dengan kue-kue murah dari penguasa dan antek-anteknya, miris. Saya ingin Tan Malaka, Sjahrir dan Soe Hok Gie hidup kembali untuk memberikan penilaian tentang para intelektual yang tak lagi mahal, para aktivis yang tak lagi idealis.
Sundal Intelektual ini ditujukan secara implisit kepada siapa saja yang gemar “menggadaikan” idealisme Mahasiswa atau gerakan suci demi kantong pribadi, demi amplop kekuasaan yang menyebabkan runtuhnya keobjektifan. Kembalilah kita semua pada naungan azas perjuangan dalam samudera kebenaran. (*)